DIMUAT
DIMAJALAH ISMA
TRADISI KUDA KOSONG DARI MASA KEMASA. bagian ke
I
Oleh Luki
Muharam, Divisi Sejarah Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC), Divisi Sejarah
Paguyuban Pasundan Kab. Cianjur.
dikirim
Sabtu 25 Mei
Iring-iringan
Kuda Kosong selalu hadir pada saat pelaksanaan Pawai Pembangunan setiap
peringatan hari jadi kabupaten Cianjur tanggal 12 Juli. Kuda bertubuh tinggi
dibawa seorang ulama yang dikawal beberapa hulu balang, ini menggambarkan Dalem
Aria Kidul / Rd. Aria Natadimanggala saat tiba di Cianjur setelah menempuh
perjalanan panjang dari ibu kota kesultanan Mataram di Kertosuro Jawa Tengah
ratusan tahun lalu. Kuda sengaja tidak dinaiki karena Aria Kidul merasa yang
berhak menaiki kuda adalah Bupati Cianjur Rd. Aria Wiratanu II / Rd.
Wiramanggala (1691-1707) kakaknya. Dibelakang iring-iringan kuda kosong
terdapat para jawara yang membawa pohon Saparantu hadiah dari Sultan Mataram
Amangkurat II (1680-1702). Anugrah Amangkurat II lainnya adalah kuda Eropa dan
keris bertahtakan intan berlian yang dibawa Aria Kidul.
Iring-iringan
Kuda Kosong biasanya menempati barisan terdepan dalam Pawai Pembangunan hari
jadi Cianjur, setelah itu diikuti anggota pawai lainnya perwakilan sekolah,
instansi pemerintah daerah, swasta, pesantren, dsb. Kuda Kosong adalah salah
satu tradisi khas Cianjur, seperti halnya Penca Cikalong, dan Mamaos. Pawai
Pembangunan nampaknya tidak memiliki “dangiang” apabila tidak dihadiri
iring-iringan Kuda Kosong, namun begitu, tradisi Kuda Kosong sempat dilarang
digelar Ir. H. Wasidi Swastomo Bupati Cianjur periode tahun 2001-2006.
Pelarangan tersebut berdasarkan desakan para ulama melalui Silaturahmi Majelis
Ulama (Silmui) di gedung Dakwah Cianjur yang memutuskan bahwa tradisi Kuda
Kosong sarat dengan praktek perdukunan karena didalamnya terdapat ritual
pemanggilan Rd. Suryakancana raja lelembut dari gunung Gede Cianjur. Ritual ini
dikhawatirkan akan mengarahkan warga Cianjur yang melihatnya kepada perbuatan
Syirik dosa besar dalam agama Islam.
Pelarangan
tersebut mengakibatkan selama beberapa tahun Kuda Kosong tidak hadir disetiap
Pawai Pembangunan hari jadi Cianjur tanggal 12 Juli. Padahal Kuda Kosong selama
puluhan tahun telah menjadi daya tarik luar biasa bagi warga yang melihatnya,
mereka pada umumnya yakin bahwa Rd. Suryakancana selalu “hadir” dan duduk
diatas kuda tersebut, walaupun secara kasat mata tidak tampak. Larangan
tampilnya Kuda Kosong mengakibatkan hubungan yang kurang harmonis antara
Pemerintah daerah dan para aktivis budaya di Cianjur seperti Paguyuban
Pasundan, Dewan Kesenian Cianjur, Lembaga Kebudayaan Cianjur dsb. Hubungan
kurang harmonispun terjadi antara Majelis Ulama (MUI) Kab. Cianjur dengan para
aktivis budaya yang dipelopori Abah Ruskawan Ketua Paguyuban Pasundan Kab.
Cianjur.
Ketidak
harmonisan tersebut mulai mencair, saat tampuk pemerintah daerah berganti,
Bupati Cianjur Tjetjep Muchtar Soleh mengajak ulama dan budayawan duduk semeja
untuk mencari jalan keluar agar polemik pelarangan Kuda Kosong dapat berakhir
dengan baik. Akhirnya MUI Kab. Cianjur bersedia mengijinkan Kuda Kosong
ditampilkan kembali dengan syarat penghapusan ritual pemanggilan raja jin Rd.
Suryakancana. Maka sejak beberapa tahun lalu, tradisi Kuda Kosong kembali
digelar setiap Pawai Pembangunan Hari jadi Cianjur 12 Juli, tentu tanpa
“kehadiran” Rd. Suryakancana. Bagi kalangan pemerhati sejarah Cianjur dengan
adanya konflik pro dan kontra Tradisi Kuda Kosong terdapat manfaat yang besar,
karena memang telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan tradisi Kuda Kosong
sejak berakhirnya masa penjajahan Jepang tahun 1945 ditanah air, hingga masa
pemerintahan Bupati Cianjur Harkat Handiamihardja (1996-2001). Iring-iringan
Kuda Kosong yang digelar setiap hari besar Islam pada era penjajahan Belanda
semula tidak ada hubungannya dengan Rd. Suryakancana raja jin dari gunung Gede
Cianjur. Namun sejak tahun 1950 tradisi ini dihidupkan kembali setelah
dihentikan penjajah Jepang, namun pelaksanaan berbeda karena ternyata mencontoh
tradisi Kuda Kosong yang digelar di kabupaten Ciamis yang dalam pelaksanaannya
terdapat ritual “menghadirkan” raja siluman Onom. Untuk lebih jelasnya mari
kita simak sejarah lahirnya Tradisi Kuda Kosong.
Tradisi
Kuda Kosong dimulai dari suasana tatar Sunda/ Jawa Barat yang saat itu berada
dalam penjajahan Kesultanan Mataram selama tiga generasi Sultan Mataram, yakni
Sultan Agung / Prabu Hanyokuroksumo (1613-1645), Sunan Amangkurat I / Rd.
Syahidin (1645-1677) dan Sunan Amangkurat II / Rd.Ameral (1680-1702). Tatar
Sunda setelah runtuhnya Kerajaan Pajajaran tanggal 8 Mei 1579 oleh gempuran pasukan
gabungan Demak, Cirebon dan Banten, wilayahnya jadi rebutan antara Kesultanan
Banten, Kesultanan Cirebon dan Kerajaan Sumedang Larang. Namun sejak Sultan
Agung Mataram berambisi menaklukan daerah-daerah dipulau Jawa, satu persatu
kabupaten di seluruh Jawa termasuk di Jawa Barat ditaklukan Kesultanan Mataram,
Kerajaan Galuh takluk tahun 1595, wilayah-wilayah bekas kerajaan Galuh dipecah
menjadi beberapa kabupaten, demikian pula kerajaan Sumedang Larang tunduk
kepada Mataram tahun 1620, status Sumedang yang semula kerajaan diturunkan jadi
bupati bawahan Kesultanan Mataram, demikian pula dengan Cirebon, malah Sultan
Cirebon Panembahan Girilaya (1649-1677) tewas dipenjara dengan status tahanan
Sultan Mataram.
Para
Sultan Mataram menjajah tatar Sunda dengan otoriter, bahkan kebudayaan Jawa
dipaksakan menjadi kebudayaan Sunda,menurut Prof. Dr. Ninna Lubis, MS dalam
buku “ Tranformasi Sejarah Sunda “dijelaskan beberapa kebudayaan Jawa yang
semula diterapkan ditatar Sunda secara paksa oleh Kesultanan Mataram saat
menjajah tatar Sunda kini sudah dianggap menjadi bagian dari kebudayaan Sunda
seperti undak usuk basa, wayang golek, menanam padi disawah, gelar raden,
dongeng nyi roro kidul, dongeng Prabu Siliwangi menjadi siluman harimau, dsb.
(Bersambung)
Nyukcruk
Galur
Sejarah Tradisi Kuda Kosong, bagian 2
( Foto
makam Dalem Aria Kidul, di kampung Babakan Jati desa Rahong, Kec. Cilaku
Cianjur)
Luki
Muharam Divisi Sejarah Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC). Divisi Sejarah
Paguyuban Pasundan Kab. Cianjur.
Sunan Amangkurat
II (1680-1702) setelah dilantik jadi Sultan Mataram atas dukungan Belanda,
merasa perlu untuk melihat sikap para bupati kepadanya. Kabupaten- kabupaten di
pulau Jawa yang sudah menjadi bawahan Kesultanan Mataram, para bupatinya setiap
tahun diwajibkan menyerahkan pajak kepada Sultan, sebagai bukti pengabdian.
Namun bagi Cianjur yang saat itu baru saja berdiri sebagai pemerintahan, belum
menjadi bawahan Mataram. Maka kemudian, Amangkurat II mengutus salah seorang
senopatinya untuk datang ke Cianjur, tujuannya untuk melihat sikap bupati
Cianjur, apakah akan takluk menjadi bawahan Mataram, atau menolak tunduk kepada
Mataram. Tentu saja, bila pilihannya menolak akan mendapat resiko besar,
Cianjur akan digempur pasukan kesultanan Mataram.
Raden Mas
Ronggo adalah utusan Mataram yang menemui Bupati Cianjur Raden Aria Wiratanu II
/ Rd. Wiramanggala (1691-1707). Sang utusan memberi waktu beberapa bulan kepada
bupati Cianjur untuk mempertimbangkan sikap politiknya, apakah akan tunduk
kepada Mataram, atau berontak kepada Mataram. Sepulangnya utusan Mataram, Rd.
Wiramanggala memusyawarkah hal itu dengan para penasihatnya yang tidak lain
adalah adik-adiknya seperti Rd. Natadimanggala / Dalem Aria Kidul (makamnya di
Babakan Jati, Jebrod Cianjur), dan Rd. Wiradimanggala / Dalem Aria Cikondang
(makamnya didesa Cikondang Cibeber).
“ Menurut
pertimbangan saya, daripada kita menjadi bawahan wong Jawa (Mataram) sebaiknya
kita perangi mereka . Apabila ada Meong ngamuk gajah meta biar
saya yang menghadapinya sendiri kakang, “ tegas Dalem Aria Cikondang kepada
Bupati Cianjur, menunjukkan sikapnya yang anti Mataram / Belanda (riwayat
gugurnya Aria Cikondang akan dikisahkan terpisah bersama perjuangan Haji
Prawatasari). Sang kakak Wiramanggala, menatap Aria Cikondang. Ia hafal benar
watak temperamental adiknya. Hal itu memang bukan omong kosong sebab Dalem Aria
Cikondang dikenal memiliki kesaktian yang mumpuni weruh sedurung winara, kebal
terhadap berbagai senjata karena memiliki ajian Pancasona, hal yang dianggap
wajar pada masa itu. Wiratanu II kemudian meminta pendapat Natadimanggala, adik
terdekatnya yang hanya terpaut setahun darinya. Dalem Aria Kidul/
Natadimanggala ini dikenal sebagai ulama, selain itu Natadimanggala juga ahli
diplomasi dan sastrawan. “ Sebagai kabupaten yang baru saja berdiri, akan
menyengsarakan rakyat apabila kita bertempur melawan Mataram yang sudah mapan.
Maka saran saya, kita harus menghadap Sultan Mataram serta menyatakan sikap
kita langsung kepada beliau dan sebaiknya kakanda membuat surat pernyataan
sikap untuk disampaikan ke Mataram, “ papar Aria Kidul.
Dalem
Aria Wiratanu II lalu mempercayakan pembuatan surat untuk Sunan Amangkurat II
kepada Dalem Aria Kidul. Dalam sejarah Cianjur surat tersebut dikenal dengan
nama “ Serat Kalih “ yang isi seperti ini :
Serat
Kalih Sembah Pangabakti :
Medal
saking iklasing wedaya, abdi dalem Sunda Kilen kang dahat budi punggung, kangte
senggah pasiten gusti. Kita Ing Pamoyanan tepining Cianjur Aria Wiratanu II,
mugi konjuk ing dalem Kanjeng Sinuhun Ing Mataram sasampuning kadya sapu
niki. Kebak Dalem nyaoskeun raga, nagri sareng isine, pitik katur sumangga
kersaning dalem,kaula darma teungga, ayahan pakulun.Cipta Ulun kumaula sing
dalu, mun nyadong adoh jeung Gusti sumangga raga kasrah
Bila
diartikan isi surat Kalih yang berbahasa Jawa itu adalah tentang menyerahnya
Kabupaten Cianjur kepada Sultan Mataram, Bupati Cianjur menyerahkan seluruh
kekayaan Cianjur (nagri sareng isine) kepada Sultan Mataram. Bupati Cianjur
berjanji akan setia dan patuh kepada Sultan Mataram, dan apabila ia melanggar
bersedia dihukum jiwa raganya (Cipta Ulun kumaula sing dalu, mun nyadong
adoh jeung Gusti sumangga raga kasrah). “ Indah sekali dinda surat yang kau
buat. Kanda yakin sinuhun Sultan akan suka membaca surat ini. Kanda juga memutuskan
agar dinda Natadimanggal yang menyerahkannya langsung ke Susuhan di Kertosuro
mewakili kanda, “ ujar Dalem Cianjur kepada Natadimanggala. “ Untuk menyusun
surat biarlah saya yang membuat, namun yang mengantarkan ke Susuhan bagaimana
bila dinda Aria Cikondang yang mengantarkan. Atuh nganteur-nganteurkeun
suratna, da puguh ari nyieuna mah henteu, “ canda Natadimanggala kepada
Wiradimanggala adiknya yang hanya mendelik mendengar gurauan kakaknya.
Dalem
Aria Kidul / Natadimanggala berangkat membawa surat Kalih yang telah dibungkus
kain putih dan dimasukan kedalam kotak kecil (kebiasaan saat itu bila mengirim
surat kepada raja). Natadimanggala menaiki kuda diiringi puluhan jawara dan
rombongan pengangkut logistik. Menurut cerita, perjalanan ke Kertosuro / Solo
Jawa Tengah menghabiskan waktu selama 3 bulan pergi pulang, dan karena
suasananya masih banyak “leuweung geledegan” yang dihuni perampok, rombongan
Natamanggala kerap kali diserang, namun semua rintangan dapat dihadang hingga
akhirnya rombongan tiba di pintu masuk keraton Mataram. Pada saat itu di
paseban keraton tengah berkumpul para bupati bawahan Mataram dari berbagai
kabupaten di pulau Jawa yang hendak menyerahkan upetinya, sebagai daerah
taklukan Mataram. Natadimanggala kemudian menyerahkan Surat Kalih kepada Patih
untuk diserahkan kepada Sultan Mataram Amangkurat II. (Bersambung)
TRADISI
KUDA KOSONG DARI MASA KEMASA BAG 3.
Oleh Luki Muharam, Divisi Sejarah Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC)
Dikirim Sabtu 3/8.
( Foto Pohon Saparantu pemberian Sultan Mataram Nampak masih
tumbuh dengan baik di Kp. Saparantu Cibalagung Desa Bobojong Kec.Mande Cianjur)
Pada bagian kedua dikisahkan Dalem Aria Kidul sudah tiba di
Keraton Sunan Amangkurat II di Mataram (sekarang Solo, Jateng) setelah menempuh
perjalanan panjang dan berat dari Cianjur. Surat Kalih yang berisi pernyataan
Bupati Cianjur Raden Aria Wiratanu II menyerah kepada Sultan Mataram sudah ada
ditangan Amangkurat II Sultan Mataram, cucu mendiang Sultan Agung Mataram itu
suka cita sekali membaca Surat Kalih, “ He Wong Sunda ! kang medi
iki tulisan utusan Pamoyanan bagja satemenna kamu Raden pangiarsa, “ ujar
Sultan Mataram seraya memanggil Aria Kidul utusan Cianjur agar mendekat
kepadanya.
Dalem Aria Kidulpun menghampiri Sultan Mataram seraya mengahaturkan
sembah, “ Nun Paduka, abdi Dalem dinuta Kakang nyaoskeun sembah
baktos ping kalih welingipun mulewatan sowan. Pribadi saking ketahwagelan teu
kiat lumaku, “ ujar Aria Kidul yang artinya Dalem Aria Kidul mewakili
Bupati Cianjur kakaknya yang berhalangan hadir, namun begitu Bupati Cianjur
menyatakan sembah bakti kepada Sultan Mataram. “ Sun tarima prasetya
kakang ngireki, lawan sun tarima sun haken mintera, “jawab Sultan.
Begitu suka citanya Sultan Mataram menerima pengabdian Bupati Cianjur Aria Wiratanu
II, ia memberikan hadiah melalui Dalem Aria Kidul berupa Pendok Emas. Sebelum
kembali ke Cianjur, rombongan Dalem Aria Kidul dihibur berbagai kesenian dan
santapan, serta dibekali berbagai keperluan untuk perbekalan pulang kembali ke
Cianjur.
Namun dalam versi lain menyatakan, sejatinya Kabupaten Cianjur
tidak pernah menyerah kepada Kesultanan Mataram. Malah Surat Kalih yang
sekarang ada, bukanlah surat kalih yang sebenarnya, karen dalam Surat Kalih
yang sesungguhnya Cianjur tidak pernah menyerah kepada Mataram (Tentu
pernyataan ini membutuhkan penelusuran sejarawan untuk membuktikan
kebenerannya). Dalam versi ini, selain surat kalih Bupati Cianjur menyertakan
pula bingkisan unik yang berupa symbol keadaan negeri Cianjur saat itu, Dalem
Aria Kidul mengahadap kepada Sultan Mataram menyerahkan bingkisan kecil dari
Aria Wiratanu II yang isinya tiga butir padi dan tiga butir merica. Tiga butir
padi berisi pesan simbolik bahwa kabupaten Cianjur yang saat itu baru berdiri
belum bisa mensejahteraan rakyatnya, sedangkan tiga butir merica artinya
kendati Cianjur masih miskin karena baru berdiri, namun apabila dihina apalagi
diserang “moal burung ngalawan” Cianjur siap belapati menjaga harga dirinya.
Dan ketika Sultan Mataram menerima bingkisan unik tersebut, ia memahami
kondisi Cianjur yang baru berdiri dan masih belum mandiri perekonomiannya. Oleh
karena itu Sunan Amangkurat II menjawab symbol tersebut dengan memberikan
beberapa hadiah yang berisi pesan kepada Bupati Cianjur, yakni seekor
kuda balapan Eropa jantan berwarna hitam, pohon Saparantu dan sebilah keris
bertahtatakan intan berlian. Malah keris yang diberikan melalui Dalem Aria
Kidul itu adalah keris Sultan Mataram yang langsung diambil dari pinggangnya.
Kuda balap jantan mengandung arti agar Cianjur segera gulung tangan “singkil”
membangun daerahnya agar maju, pohon saparantu mengandung arti bahwa Cianjur
harus menjadi kabupaten yang langgeng seperti pohon saparantu yang berusia
panjang (pohon saparantu pemberian Sultan Mataram hingga kini masih tumbuh dengan
baik di Kampung Saparantu, Cibalagung desa Bobojong Kec.Mande). Daerah di Jawa
Barat yang diberi pohon Saparantu oleh Sultan Mataram hanya Cirebon, Banten dan
Cianjur. Sedangkan symbol keris Sultan yang dianugrahkan kepada bupati Cianjur
mengandung arti bahwa Kesultanan Mataram tidak menganggap Cianjur sebagai
wilayah jajahan, akan tetapi saudara yang sejajar kedudukannya dan Mataram siap
membantu Cianjur bila suatu saat mendapat serangan dari siapapun.
Dalem Aria Kidul gembira sekali kunjungannya ke kraton Mataram
berhasil dengan baik. Ia bawa ke Cianjur kuda, keris dan pohon Saparantu
sebagai anugrah bagi Bupati Cianjur kakaknya dari Sinuhun Sultan Mataram, oleh
karena itu sepanjang perjalanan menuju Cianjur kuda tersebut dibiarkan kosong
tidak ditunggangi siapapun. Dalem Aria Kidul beranggapan bahwa kuda tersebut
diperuntukkan sebagai tunggangan Bupati Cianjur, jadi yang berhak
menungganginya hanya Raden Wiramanggala / Dalem Aria Wiratanu II Bupati
Cianjur. Iapun segera mengutus beberapa orang kepercayaannya untuk bergegas
pulang ke Cianjur memberi khabar kepada Aria Wiratanu II bahwa rombongan Aria
Kidul dalam perjalanan pulang ke Cianjur dengan hasil yang membanggakan.
Benar saja, setibanya dikampung Muka Cianjur, berbagai umbul-umbul
sudah dipasang menyambut kedatangan Aria Kidul dan rombongannya. Rakyat
sepanjang jalan tidak saja mengahaturkan sembah kepada Aria Kidul, namun ikut
serta dengan rombongan Aria Kidul “ngabring” membawa Kuda Kosong menuju pendopo
Cianjur yang masa itu letaknya dikampung Pamoyanan Tonggoh ( depan Stekmal
sekarang) namun versi lain menyatakan bahwa pendopo Cianjur saat itu dilokasi
gedung Bale Rancage sekarang.
Setibanya digapura pendopo Cianjur, ia sudah disambut
saudara-saudaranya seperti Rd. Aria Martayuda / Dalem Sarampad, Rd.
Suradiwangsa / Dalem Panembong, Nyi Mas Kaluntar, Nyi Mas Kara, Nyi Mas Bogem,
Nyi Mas Karanggan, Nyi Mas Jenggot, namun yang tidak tampak menyambut hanya
Dalem Aria Cikondang / Rd. Wiradimanggala. Dalem Aria Kidul dipapag ku ulama
pendopo, dalam babad Cianjur dikisahkan penyambutan Aria Kidul di pendopo
Cianjur “ dikukusan diparaneahan, dibura ku nini paraji supados
kempel pangacian”. (Bersambung)
Tradisi Kuda Kosong Dari Masa Kemasa Bag IV “
GUGURNYA ARIA CIKONDANG”
Oleh Luki
Muharam Divisi Sejarah Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC), Divisi Sejarah
Paguyuban Pasundan Kab. Cianjur.
Dikirim
Jumat (6/9)
(Foto
Salah satu makam Aria Cikondang ditengah sawah dipinggir sungai Cikondang
Cibeber Cianjur.)
Pendopo
Kab. Cianjur pada masa Bupati Cianjur Rd. Aria Wiratanu II (1691-1707) masih
berada dikampung Pamoyanan, setibanya di pendopo kuda jantan Eropa hadiah Sunan
Amangkurat II langsung ditunggangi Bupati Cianjur. Dengan bangga Rd.
Wiramanggala/ Aria Wiaratanu II diiringi adik-adiknya dan rakyat berkeliling
kota sambil menunggangi kuda anugrah Sultan Mataram. Konon sepanjang masa
pemerintahannya Rd Aria Wiratanu II selalu menunggangi kuda tersebut setiap
acara-acara penting seperti menyambut tamu agung dari Kesultanan Mataram, atau
pembesar Belanda saat Cianjur sudah menjadi jajahan Belanda. Selain jadi kuda
tunggangan utamanya, kuda tersebut selalu diarak bersama keris pemberian Sultan
Mataram saat peringatan muludan.
Sebelum
melanjutkan tentang riwayat tradisi Kuda Kosong, alangkah baiknya kita menyimak
kisah heroik Dalem Aria Cikondang / Rd. Wiradimanggala adik kandung Bupati
Cianjur Aria Wiratanu II . Aria Cikondang satu-satunya adik Wiramanggala yang
tidak setuju adanya hubungan baik antara Cianjur dengan Mataram. Karena sejarah
sudah mencatat sejak wafatnya Sultan Agung Mataram yang anti Belanda,
kesultanan Mataram justru bekerja sama dengan Belanda pada saat dipimpin Sunan
Amangkurat I dan Sunan Amangkurat II. Bagi Aria Cikondang hubungan erat antara
Cianjur dan Mataram sama halnya membuka hubungan baik dengan penjajah tanah
air.
Belum
ditemukan sejarah ataupun babad tentang keterkaitan antara Aria Cikondang dan
pemberontak Haji Prawatasari yang hidup sejaman. Namun menurut sumber
tradisional Aria Cikondang kemudian membangkang kepada Mataram dan Belanda.
Banyak rakyat yang mengaguminya, karena selain berwatak keras, Aria Cikondang
dikenal sebagai ahli maen po dan memiliki ajian Pancasona yang tidak mempan
senjata tajam dan peluru. Dapat dibayangkan betapa sulitnya melumpuhkan Aria
Cikondang saat menjadi buronan karena memiliki “urat kawat-tulang beusi”.
Pasukan Belanda dan Mataram sering dibuat kocar-kacir menghadapi Aria
Cikondang, sebab walaupun sendirian bila sedang menghadang penjajah, ia ibarat
harimau terluka yang tidak pernah membiarkan lawan-lawanya lolos begitu saja.
Beberapa
tahun membangkang, membuat Belanda merasa dirugikan. Fihak penjajah kemudian
membuat ultimatum kepada Aria Cikondang, apabila tidak menyerahkan diri kepada
Belanda, maka Bupati Cianjur akan ditangkap karena dianggap sekongkol
membiarkan adiknya berontak kepada Mataram dan Belanda.
Raden
Wiradimanggala / Dalem Aria Cikondang akhirnya luluh hatinya, bagaimanapun ia
tidak tega bila kakak kandungnya ditangkap karena perjuangannya. Aria Cikondang
kemudian menyerahkan diri, tidak lama setelah menyerahkan diri, Rd.
Wiradimanggala dijatuhi hukuman mati. Uniknya saat menjalani hukuman mati
dengan tembakan peluru, tak satupun peluru dapat melukai kulitnya. Demikian
juga saat kepalanya dipenggal algojo hingga “ngagulutuk” ditanah, kepala yang
terlepas dari leher menyatu kembali. Dan saat menghadapi berbagai hukuman,
putra Dalem Cikundul ini hanya tertawa terkekeh-kekeh melihat pasukan penjajah
yang kebingungan mencari-cari cara untuk membunuhnya.
Namun
seperti kata pepatah karuhun “ moal aya elmu panutup”, suatu ketika datanglah
seorang pria yang mengaku mengetahui kelemahan Aria Cikondang. Menurut sang
penghianat ini, Aria Cikondang harus dibunuh ditengah aliran sungai yang
mengalir, agar darahnya tidak menyentuh tanah, sebab apabila darahnya menyentuh
tanah jasad Aria Cikondang akan menyatu kembali dan hidup seperti sediakala.
Belanda kemudian melaksanakan pentunjuk tersebut, pada suatu hari saat bakda
zuhur tubuh Aria Cikondang ditarik beberapa ekor kuda secara berlawanan arah
diatas aliran sungai Cikondang (yang saat itu masih berupa sungai kecil, belum
terkena abrasi seperti sekarang ). Maka tubuh perkasa Aria Cikondangpun
akhirnya terbagi dua, darah segar yang mengalir dari tubuhnya terbawa aliran
sungai Cikondang. Jasad sang pahlawan kemudian dimasukan secara terpisah,
masing-masing dimasukan kedalam peti besi. Menurut riwayat ini, bagian kepala
hingga dada dikubur digunung Picung Cikondang Cibeber, sedangkan bagian perut
hingga kaki dikubur dipinggir sungai Cikondang Cibeber. Ironinya pelaksaan
hukuman mati tersebut disaksikan Dalem Aria Wiratanu II Bupati Cianjur dengan
hati pilu. Maka hingga saat ini makam Aria Cikondang terdapat dua buah
,ditengah sawah tidak jauh dari sungai Cikondang Cibeber dan di puncak gunung Picung
Cikondang Cibeber. Sedangkan penghianat yang tidak lain adalah rekan
seperguruan Aria Cikondang, kemdudian diangkat menjadi Camat Cikembulan.
Pada masa
Bupati Cianjur Rd. Aria Wiratanu III / Dalem Astramanggala (1707-1727) tradisi
kuda kosong terus dilaksanakan. Dalem Astramanggala tidak lagi menunggangi kuda
pemberian Sunan Amangkurat II sebagai penghormatan kepada Bupati Cianjur RA.
Wiratanu II ayahnya. Bupati Cianjur yang kaya raya ini membangun dengan megah
pendopo Cianjur dilokasi sekarang dengan gaya arsitektur Belanda, yang semula
berada dikampung Pamoyanan. Dalem Astramanggala menjaga dengan baik keturunan
Kuda Kosong dan membangun istal khusus didaerah kembong kembang (belakang SDN.
Ibu Jenab I sekarang). Selain digelar setiap Muludan, helaran Kuda Kosong
digelar pula setiap menyambut tamu penting pembesar Belanda yang berkunjung ke
pendopo Cianjur, Bersambung
Asal Muasal Tradisi Kuda Kosong bagian V (Tamat)
Pelurusan
Sejarah Helaran Kuda Kosong
Oleh Luki
Muharam, Divisi Sejarah Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC), Divisi Sejarah
Paguyuban Pasundan Kab. Cianjur. Dikirim Senin (30/9)
Sejak
kapan Tradisi Kuda Kosong dihubungkan dengan Rd. Suryakancana Raja jin yang
konon bersemayam di gunung Gede Cianjur ? Dan apakah benar Raden Suryakancana
memang hadir saat tradisi kuda kosong digelar ? . Adalah Sutardy Mahesa (56)
Ketua Komite Film dan Multimedia Dewan Kesenian Cianjur (DKC) suatu ketika
diakhir masa jabatan Bupati Cianjur Harkat Handiamihardja (1996-2001) ia
diminta TVRI Bandung untuk menjadi juru kamera meliput tradisi Kuda Kosong
sejak dimulai acara Ngalinggihkeun hingga Ngalungsurkeun Raden Suryakancana. “
Di TVRI saat itu ada acara Dian Rana, saya ditugaskan Pemda Cianjur membantu
TVRI meliput tradisi Kuda Kosong sejak ritual Ngalinggihkeun Rd. Suryakancana
hingga Ngalungsurkeun ke kamar kosong di Pendopo Cianjur ,“ ujar Ayah panggilan
akrab Sutardy Mahesa saat dijumpai disekretariat DKC.
Di
pendopo Cianjur saat itu masih terdapat Kamar Kosong yang memang biasa
diperuntukkan bagi Rd. Suryakancana. Kamar tersebut selalu diisi sesaji,
apalagi menjelang arak-arakan Kuda Kosong kamar yang dikeramatkan tersebut
semakin disakralkan. Kuda jantan tinggi besar yang akan menjadi tunggangan
Suryakancana harus dimandikan terlebih dahulu menjelang diarak, dan yang
memandikan kuda tidak boleh sembarangan tapi harus Bupati Cianjur, air untuk
memandikan kudapun tidak sembarang air, tapi air keramat dari Cikahuripan yang
berasal di kompleks makam Dalem Cikundul / Aria Wiratanu I di Majalaya Cikalong.
Esoknya
saat akan dimulai arak-arakan Kuda Kosong, di kamar kosong sang juru kunci
telah menyiapkan berbagai sesaji kesukaan Suryakancana, dan setelah diadakan
“hadiah” juru kunci “mengahadirkan” Suryakancana untuk dipersilakan menaiki
kuda yang sudah disediakan, “ Sebagai juru kamera saya mulai meliput ketika
juru kunci hadiah dikamar kosong, tiba-tiba ia sungkem sepertinya Suryakancana
sudah hadir walau tidak terlihat, lalu kuncen berdiri seolah-olah mengiringi
seseorang menuju kuda. Diluar kamar kosong sudah berbaris seraya menunduk
hormat para pembesar Cianjur, Bupati Cianjur, Dandim, dan Kapolres. Dan yang
sulit diterima akal saat Suryakancana dilinggihkan kepunggung kuda, sepertinya
ada beban berat yang memang naik kepunggung kuda, …walaupun tidak terlihat,
kuda nampak terbebani benda berat, “ papar Ayah menceritakan saat meliput
ritual Ngalinggihkeun Suryakancana ke punggung kuda. Demikian juga saat
diadakan ritual Ngalungsurkeun Suryakancana setelah iring-iringan pawai dari
kuda ke Kamar Kosong yang disambut para pembesar Cianjur dipintu masuk Kamar
Kosong. Apa yang dialami Sutardy Mahesa, walaupun sulit dibuktikan akan tetapi
banyak yang mempercainya, sehingga Kuda Kosong menjadi daya tarik bagi warga
Cianjur yang selalu menyempatkan hadir saat digelar tradisi Kuda Kosong setiap
hari jadi Kab. Cianjur.
Lalu
apakah helaran Kuda Kosong sejarah awalnya dikaitkan dengan raja jin
Suryakancana ? ternyata ketika awal-awal digelar sejak jaman Bupati Cianjur ke
III Dalem Aria Wiratanu III (1707-1727) hingga jaman Bupati Cianjur R.A.A
Surianata Atmadja (1934-1943) arak-arak Kuda Kosong tidak ada sangkut pautnya
dengan praktiik klenik dan pemanggilan jin. Masuknya tradisi Ngalinggihkeun dan
Ngalungsurkeun Suryakancana terjadi ketika Cianjur diperintah Bupati Rd. Ateng
Sanusi Natawiyoga (1948-1950). “ Dalem Ateng itu Bupati Cianjur yang bukan
keturunan Dalem Cikundul, beliau adalah menak Bandung. Sebagai orang
berpendidikan beliau ingin diakui oleh sesepuh dan warga Cianjur makanya beliau
kerap datang menemui ulama-ulama Cianjur meminta saran, maka oleh ulama Cianjur
beliau disarankan untuk menghidupkan kembali pengajian yasinan setiap malam
jumat di pendopo, dan saran tersebut dilaksakanan. “ papar Pepet Djohar (67)
mantan Ketua Lembaga Kebudayaan Cianjur.
Sayangya
Dalem Ateng tidak hanya meminta saran ulama, ia juga menerima saran seorang
wanita paranormal dari Cidaun Cianjur yang menyarankan agar diadakan ritual
menghadirkan Suryakancana yang dipercaya sebagai putra Dalem Cikundul dari
putri jin yang bersemayam di gunung Gede Cianjur. Ritual tersebut meniru
tradisi Kuda Kosong di Ciamis yang menghadirkan Onom dedemit yang konon
menghuni Rawa Lakbok di Ciamis. Maka sejak saat itu hingga jaman Bupati Cianjur
Harkat Handiamihardja Tradisi Kuda Kosong dibumbui tradisi Ngalinggihkeun dan
Ngalungsurkan Suryakancana.
Namun
atas saran Majelis Ulama, Ir. H. Wasidi Swastomo, MSi (Bupati Cianjur periode
2001-2006) menghapus tradisi Kuda Kosong karena dikhawatirkan akan membawa
warga Cianjur kepada kemusyrikan. Pelarangan tersebut tidak serta merta
diterima para budayawan, maka setelah beberapa kali diadakan musyawarah antara
Majelis Ulama, Paguyuban Pasundan Kab. Cianjur, dan Dewan Kesenian Cianjur
(DKC) maka tradisi Kuda Kosong penyelenggaraannya dikembalikan seperti semula
yang tidak dikaitkan dengan ritual pemanggilan jin. “ Jadi tradisi Kuda Kosong
yang digelar sekarang sudah kembali seperti jaman Dalem Astramanggala (Aria
Wiratanu III) dan memang seperti itu seharusnya, “ pungkas Pepet Djohar yang
kini menjadi Dewan Penasihat Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC). Sayangnya keris
pemberian Sultan Mataram hingga kini keberadaannya tidak diketahui, cenderamata
Sultan Mataram yang masih bisa dilihat adalah pohon Saparantu yang masih tumbuh
dengan baik dikampung Saparantu Kademangan Cibalagung, Mande. (Tamat)
insya'allah mangpaat pisan iyeu carita teh kanggo urang cianjur diantawisna abdi urang cianjur selatan....upami tiasamah ditambihan deui bedahan caritana..
ReplyDeleteboleh tanya donk ...!!! itu dalam 1 hari dapat 3 Milyar, proses nya bagai mana ya ? uang nya dari mana ? apakah uang tersebut tiba tiba muncul begitu saja di dalam kantong celana ? apa ngambil dari ATM ?
DeleteAssalamualaikum senang sekali saya bisa menulis dan berbagi kepada teman-teman disini. barangkali ada teman-teman yang sedang kesulitan masalah keuangan. Sebulan yang lalu perusaan percetakan saya dirundung hutang yang cukup besar. Hal itu di akibatkan melonjaknya harga kertas dan tenaga upah yang harus saya bayar kepada para karyawan saya. Sementara itu beberapa tender yang nilainya cukup besar gagal saya menangkan. Akibatnya saya harus menjaminkan mobil saya saya untuk meminjam hutang dari bank. Namun hal itu belum cukup menutup devisit perusaan. Bahkan pada akhirnya rumah beserta isinya sempat saya jaminkan pula untuk menutup semua beban hutang yang sedang dilanda perusaan. Masalah yang begitu berat bukan mendapat support dari istri justru malah membuat saya bersedih bahkan sikapnya sesekali menunjukan rasa kecewa. Hal itu di sebabkan semua perhiasan yang sempat saya hadiahkan padanya turut saya gadikan. Disaat itulah saya sempat membaca beberapa situs yang bercerita tentang solusi pesugihan putih tanpa tumbal dan akhirnya saya bertemu dengan Kyai Sukmo Joyo. Kata pak Kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan penarikan uang gaib 5milyar dengan tumbal hewan. Tanpa pikir panjang semua petunjuk pak.kyai saya ikuti dan hanya 1 hari. Alhamdulilah akhirnya 5M yang saya minta benar benar ada di tangan saya. Perlahan hutang-hutang saya mulai saya lunasi. Perhiasan istri saya yang sempat saya gadaikan kini saya ganti dengan yang lebih bagus dan lebih mahal harganya. Dan yang paling penting bisnis keluarga yang saya warisi tidak jadi koleps. Jika ingin seperti saya. Saya menyarankan untuk menghubungi kyai sukmo joyo di 0823.9998.5954 situsnya www.sukmo-joyo.blogspot.co.id agar di berikan arahan
Deletehatur nuhun kang sejarah na sae pisan salaku urang cianjur sareng kaleresan masih kenenh rundayan ti dalem cikundul simkuring ngaraos bingah reh na aya sajarah anu kalintang sae na kanggo panambih elmu sinareng pangatahuan sajarah urang sadayana..
ReplyDeletehatur nuhun kang sejarah na sae pisan salaku urang cianjur sareng kaleresan masih kenenh rundayan ti dalem cikundul simkuring ngaraos bingah reh na aya sajarah anu kalintang sae na kanggo panambih elmu sinareng pangatahuan sajarah urang sadayana..
ReplyDeleteRasanya perlu pemda cianjur mehadirkan pelajaran sejarah khusus Cianjur, agar para pelajar di cianjur tahu sejarah Cianjur yang sebenarnya dr awal kabupaten Cianjur berdiri.
ReplyDeleteAbdi orang cianjur sok rda bingung ari di taros sejarah kota cianjur ku batur dha teu apal alhamdulillah ayna mah tiasa nga jawab abdi penghuni gunung picung asa bingah aya sejarah na y
ReplyDeleteAlhamdullilah Manfaat pisan 🙏
ReplyDeleteAssalammualaikum saya sebagai orang yang pernah ngantar orang yang ngambil pesugihan sebenarnya pesugihan itu ada dan saya liat dengan kepala saya sendiri.
ReplyDeleteCuman jujur saya orangnya penakut hehehe,yang saya tahu pesugihan itu gak bisa namanya di wakilkan sama kuncen harus kita yang ritualnya dan siap apa yg di pintanya bila mana ada yang mau pesugihan,insyaallah saya antar asal udah siap semuanya bilamana ada yang mau sering tentang pesugihan ini no tlp saya 083160178510