Thursday, May 22, 2014

KUDA KOSONG

DIMUAT DIMAJALAH ISMA

TRADISI KUDA KOSONG DARI MASA KEMASA. bagian ke I
Oleh Luki Muharam, Divisi Sejarah Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC), Divisi Sejarah Paguyuban Pasundan Kab. Cianjur.
dikirim Sabtu 25 Mei

Iring-iringan Kuda Kosong selalu hadir pada saat pelaksanaan Pawai Pembangunan setiap peringatan hari jadi kabupaten Cianjur tanggal 12 Juli. Kuda bertubuh tinggi dibawa seorang ulama yang dikawal beberapa hulu balang, ini menggambarkan Dalem Aria Kidul / Rd. Aria Natadimanggala saat tiba di Cianjur setelah menempuh perjalanan panjang dari ibu kota kesultanan Mataram di Kertosuro Jawa Tengah ratusan tahun lalu. Kuda sengaja tidak dinaiki karena Aria Kidul merasa yang berhak menaiki kuda adalah Bupati Cianjur Rd. Aria Wiratanu II / Rd. Wiramanggala (1691-1707) kakaknya. Dibelakang iring-iringan kuda kosong terdapat para jawara yang membawa pohon Saparantu hadiah dari Sultan Mataram Amangkurat II (1680-1702). Anugrah Amangkurat II lainnya adalah kuda Eropa dan keris bertahtakan intan berlian yang dibawa Aria Kidul. 
Iring-iringan Kuda Kosong biasanya menempati barisan terdepan dalam Pawai Pembangunan hari jadi Cianjur, setelah itu diikuti anggota pawai lainnya perwakilan sekolah, instansi pemerintah daerah, swasta, pesantren, dsb. Kuda Kosong adalah salah satu tradisi khas Cianjur, seperti halnya Penca Cikalong, dan Mamaos. Pawai Pembangunan nampaknya tidak memiliki “dangiang” apabila tidak dihadiri iring-iringan Kuda Kosong, namun begitu, tradisi Kuda Kosong sempat dilarang digelar Ir. H. Wasidi Swastomo Bupati Cianjur periode tahun 2001-2006. Pelarangan tersebut berdasarkan desakan para ulama melalui Silaturahmi Majelis Ulama (Silmui) di gedung Dakwah Cianjur yang memutuskan bahwa tradisi Kuda Kosong sarat dengan praktek perdukunan karena didalamnya terdapat ritual pemanggilan Rd. Suryakancana raja lelembut dari gunung Gede Cianjur. Ritual ini dikhawatirkan akan mengarahkan warga Cianjur yang melihatnya kepada perbuatan Syirik dosa besar dalam agama Islam. 
Pelarangan tersebut mengakibatkan selama beberapa tahun Kuda Kosong tidak hadir disetiap Pawai Pembangunan hari jadi Cianjur tanggal 12 Juli. Padahal Kuda Kosong selama puluhan tahun telah menjadi daya tarik luar biasa bagi warga yang melihatnya, mereka pada umumnya yakin bahwa Rd. Suryakancana selalu “hadir” dan duduk diatas kuda tersebut, walaupun secara kasat mata tidak tampak. Larangan tampilnya Kuda Kosong mengakibatkan hubungan yang kurang harmonis antara Pemerintah daerah dan para aktivis budaya di Cianjur seperti Paguyuban Pasundan, Dewan Kesenian Cianjur, Lembaga Kebudayaan Cianjur dsb. Hubungan kurang harmonispun terjadi antara Majelis Ulama (MUI) Kab. Cianjur dengan para aktivis budaya yang dipelopori Abah Ruskawan Ketua Paguyuban Pasundan Kab. Cianjur.
Ketidak harmonisan tersebut mulai mencair, saat tampuk pemerintah daerah berganti, Bupati Cianjur Tjetjep Muchtar Soleh mengajak ulama dan budayawan duduk semeja untuk mencari jalan keluar agar polemik pelarangan Kuda Kosong dapat berakhir dengan baik. Akhirnya MUI Kab. Cianjur bersedia mengijinkan Kuda Kosong ditampilkan kembali dengan syarat penghapusan ritual pemanggilan raja jin Rd. Suryakancana. Maka sejak beberapa tahun lalu, tradisi Kuda Kosong kembali digelar setiap Pawai Pembangunan Hari jadi Cianjur 12 Juli, tentu tanpa “kehadiran” Rd. Suryakancana. Bagi kalangan pemerhati sejarah Cianjur dengan adanya konflik pro dan kontra Tradisi Kuda Kosong terdapat manfaat yang besar, karena memang telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan tradisi Kuda Kosong sejak berakhirnya masa penjajahan Jepang tahun 1945 ditanah air, hingga masa pemerintahan Bupati Cianjur Harkat Handiamihardja (1996-2001). Iring-iringan Kuda Kosong yang digelar setiap hari besar Islam pada era penjajahan Belanda semula tidak ada hubungannya dengan Rd. Suryakancana raja jin dari gunung Gede Cianjur. Namun sejak tahun 1950 tradisi ini dihidupkan kembali setelah dihentikan penjajah Jepang, namun pelaksanaan berbeda karena ternyata mencontoh tradisi Kuda Kosong yang digelar di kabupaten Ciamis yang dalam pelaksanaannya terdapat ritual “menghadirkan” raja siluman Onom. Untuk lebih jelasnya mari kita simak sejarah lahirnya Tradisi Kuda Kosong. 
Tradisi Kuda Kosong dimulai dari suasana tatar Sunda/ Jawa Barat yang saat itu berada dalam penjajahan Kesultanan Mataram selama tiga generasi Sultan Mataram, yakni Sultan Agung / Prabu Hanyokuroksumo (1613-1645), Sunan Amangkurat I / Rd. Syahidin (1645-1677) dan Sunan Amangkurat II / Rd.Ameral (1680-1702). Tatar Sunda setelah runtuhnya Kerajaan Pajajaran tanggal 8 Mei 1579 oleh gempuran pasukan gabungan Demak, Cirebon dan Banten, wilayahnya jadi rebutan antara Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon dan Kerajaan Sumedang Larang. Namun sejak Sultan Agung Mataram berambisi menaklukan daerah-daerah dipulau Jawa, satu persatu kabupaten di seluruh Jawa termasuk di Jawa Barat ditaklukan Kesultanan Mataram, Kerajaan Galuh takluk tahun 1595, wilayah-wilayah bekas kerajaan Galuh dipecah menjadi beberapa kabupaten, demikian pula kerajaan Sumedang Larang tunduk kepada Mataram tahun 1620, status Sumedang yang semula kerajaan diturunkan jadi bupati bawahan Kesultanan Mataram, demikian pula dengan Cirebon, malah Sultan Cirebon Panembahan Girilaya (1649-1677) tewas dipenjara dengan status tahanan  Sultan Mataram.  
Para Sultan Mataram menjajah tatar Sunda dengan otoriter, bahkan kebudayaan Jawa dipaksakan menjadi kebudayaan Sunda,menurut Prof. Dr. Ninna Lubis, MS dalam buku “ Tranformasi Sejarah Sunda “dijelaskan beberapa kebudayaan Jawa yang semula diterapkan ditatar Sunda secara paksa oleh Kesultanan Mataram  saat menjajah tatar Sunda kini sudah dianggap menjadi bagian dari kebudayaan Sunda seperti undak usuk basa, wayang golek, menanam padi disawah, gelar raden, dongeng nyi roro kidul, dongeng Prabu Siliwangi menjadi siluman harimau, dsb. (Bersambung)


Nyukcruk Galur
Sejarah Tradisi Kuda Kosong, bagian 2
( Foto makam Dalem Aria Kidul, di kampung Babakan Jati desa Rahong, Kec. Cilaku Cianjur)
Luki Muharam Divisi Sejarah Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC). Divisi Sejarah Paguyuban Pasundan Kab. Cianjur.

Sunan Amangkurat II (1680-1702) setelah dilantik jadi Sultan Mataram atas dukungan Belanda, merasa perlu untuk melihat sikap para bupati kepadanya. Kabupaten- kabupaten di pulau Jawa yang sudah menjadi bawahan Kesultanan Mataram, para bupatinya setiap tahun diwajibkan menyerahkan pajak kepada Sultan, sebagai bukti pengabdian. Namun bagi Cianjur yang saat itu baru saja berdiri sebagai pemerintahan, belum menjadi bawahan Mataram. Maka kemudian, Amangkurat II mengutus salah seorang senopatinya untuk datang ke Cianjur, tujuannya untuk melihat sikap bupati Cianjur, apakah akan takluk menjadi bawahan Mataram, atau menolak tunduk kepada Mataram. Tentu saja, bila pilihannya menolak akan mendapat resiko besar, Cianjur akan digempur pasukan kesultanan Mataram.
Raden Mas Ronggo adalah utusan Mataram yang menemui Bupati Cianjur Raden Aria Wiratanu II / Rd. Wiramanggala (1691-1707). Sang utusan memberi waktu beberapa bulan kepada bupati Cianjur untuk mempertimbangkan sikap politiknya, apakah akan tunduk kepada Mataram, atau berontak kepada Mataram. Sepulangnya utusan Mataram, Rd. Wiramanggala memusyawarkah hal itu dengan para penasihatnya yang tidak lain adalah adik-adiknya seperti Rd. Natadimanggala / Dalem Aria Kidul (makamnya di Babakan Jati, Jebrod Cianjur), dan Rd. Wiradimanggala / Dalem Aria Cikondang (makamnya didesa Cikondang Cibeber).
“ Menurut pertimbangan saya, daripada kita menjadi bawahan wong Jawa (Mataram) sebaiknya kita perangi mereka . Apabila ada Meong ngamuk gajah meta biar saya yang menghadapinya sendiri kakang, “ tegas Dalem Aria Cikondang kepada Bupati Cianjur, menunjukkan sikapnya yang anti Mataram / Belanda (riwayat gugurnya Aria Cikondang akan dikisahkan terpisah bersama perjuangan Haji Prawatasari). Sang kakak Wiramanggala, menatap Aria Cikondang. Ia hafal benar watak temperamental adiknya. Hal itu memang bukan omong kosong sebab Dalem Aria Cikondang dikenal memiliki kesaktian yang mumpuni weruh sedurung winara, kebal terhadap berbagai senjata karena memiliki ajian Pancasona, hal yang dianggap wajar pada masa itu. Wiratanu II kemudian meminta pendapat Natadimanggala, adik terdekatnya yang hanya terpaut setahun darinya. Dalem Aria Kidul/ Natadimanggala ini dikenal sebagai ulama, selain itu Natadimanggala juga ahli diplomasi dan sastrawan. “ Sebagai kabupaten yang baru saja berdiri, akan menyengsarakan rakyat apabila kita bertempur melawan Mataram yang sudah mapan. Maka saran saya, kita harus menghadap Sultan Mataram serta menyatakan sikap kita langsung kepada beliau dan sebaiknya kakanda membuat surat pernyataan sikap untuk disampaikan ke Mataram, “ papar Aria Kidul.
Dalem Aria Wiratanu II lalu mempercayakan pembuatan surat untuk Sunan Amangkurat II kepada Dalem Aria Kidul. Dalam sejarah Cianjur surat tersebut dikenal dengan nama “ Serat Kalih “ yang isi seperti ini : 
Serat Kalih Sembah Pangabakti :
Medal saking iklasing wedaya, abdi dalem Sunda Kilen kang dahat budi punggung, kangte senggah pasiten gusti. Kita Ing Pamoyanan tepining Cianjur Aria Wiratanu II, mugi konjuk ing dalem Kanjeng Sinuhun Ing Mataram sasampuning kadya sapu niki. Kebak Dalem nyaoskeun raga, nagri sareng isine, pitik katur sumangga kersaning dalem,kaula darma teungga, ayahan pakulun.Cipta Ulun kumaula sing dalu, mun nyadong adoh jeung Gusti sumangga raga kasrah
Bila diartikan isi surat Kalih yang berbahasa Jawa itu adalah tentang menyerahnya Kabupaten Cianjur kepada Sultan Mataram, Bupati Cianjur menyerahkan seluruh kekayaan Cianjur (nagri sareng isine) kepada Sultan Mataram. Bupati Cianjur berjanji akan setia dan patuh kepada Sultan Mataram, dan apabila ia melanggar bersedia dihukum jiwa raganya  (Cipta Ulun kumaula sing dalu, mun nyadong adoh jeung Gusti sumangga raga kasrah). “ Indah sekali dinda surat yang kau buat. Kanda yakin sinuhun Sultan akan suka membaca surat ini. Kanda juga memutuskan agar dinda Natadimanggal yang menyerahkannya langsung ke Susuhan di Kertosuro mewakili kanda, “ ujar Dalem Cianjur kepada Natadimanggala. “ Untuk menyusun surat biarlah saya yang membuat, namun yang mengantarkan ke Susuhan bagaimana bila dinda Aria Cikondang yang mengantarkan. Atuh nganteur-nganteurkeun suratna, da puguh ari nyieuna mah henteu, “ canda Natadimanggala kepada Wiradimanggala adiknya yang hanya mendelik mendengar gurauan kakaknya.    
Dalem Aria Kidul / Natadimanggala berangkat membawa surat Kalih yang telah dibungkus kain putih dan dimasukan kedalam kotak kecil (kebiasaan saat itu bila mengirim surat kepada raja). Natadimanggala menaiki kuda diiringi puluhan jawara dan rombongan pengangkut logistik. Menurut cerita, perjalanan ke Kertosuro / Solo Jawa Tengah menghabiskan waktu selama 3 bulan pergi pulang, dan karena suasananya masih banyak “leuweung geledegan” yang dihuni perampok, rombongan Natamanggala kerap kali diserang, namun semua rintangan dapat dihadang hingga akhirnya rombongan tiba di pintu masuk keraton Mataram. Pada saat itu di paseban keraton tengah berkumpul para bupati bawahan Mataram dari berbagai kabupaten di pulau Jawa yang hendak menyerahkan upetinya, sebagai daerah taklukan Mataram. Natadimanggala kemudian menyerahkan Surat Kalih kepada Patih untuk diserahkan kepada Sultan Mataram Amangkurat II. (Bersambung) 

TRADISI KUDA KOSONG DARI MASA KEMASA BAG 3.
Oleh Luki Muharam, Divisi Sejarah Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC)
Dikirim Sabtu 3/8.
( Foto Pohon Saparantu pemberian Sultan Mataram Nampak masih tumbuh dengan baik di Kp. Saparantu Cibalagung Desa Bobojong Kec.Mande Cianjur)

Pada bagian kedua dikisahkan Dalem Aria Kidul sudah tiba di Keraton Sunan Amangkurat II di Mataram (sekarang Solo, Jateng) setelah menempuh perjalanan panjang dan berat dari Cianjur. Surat Kalih yang berisi pernyataan Bupati Cianjur Raden Aria Wiratanu II menyerah kepada Sultan Mataram sudah ada ditangan Amangkurat II Sultan Mataram, cucu mendiang Sultan Agung Mataram itu suka cita sekali membaca Surat Kalih, “ He Wong Sunda ! kang medi iki tulisan utusan Pamoyanan bagja satemenna kamu Raden pangiarsa, “ ujar Sultan Mataram seraya memanggil Aria Kidul utusan Cianjur agar mendekat kepadanya.  
Dalem Aria Kidulpun menghampiri Sultan Mataram seraya mengahaturkan sembah, “ Nun Paduka, abdi Dalem dinuta Kakang nyaoskeun sembah baktos ping kalih welingipun mulewatan sowan. Pribadi saking ketahwagelan teu kiat lumaku, “ ujar Aria Kidul yang artinya Dalem Aria Kidul mewakili Bupati Cianjur kakaknya yang berhalangan hadir, namun begitu Bupati Cianjur menyatakan sembah bakti kepada Sultan Mataram. “ Sun tarima prasetya kakang ngireki, lawan sun tarima sun haken mintera, “jawab Sultan. Begitu suka citanya Sultan Mataram menerima pengabdian Bupati Cianjur Aria Wiratanu II, ia memberikan hadiah melalui Dalem Aria Kidul berupa Pendok Emas. Sebelum kembali ke Cianjur, rombongan Dalem Aria Kidul dihibur berbagai kesenian dan santapan, serta dibekali berbagai keperluan untuk perbekalan pulang kembali ke Cianjur.  
Namun dalam versi lain menyatakan, sejatinya Kabupaten Cianjur tidak pernah menyerah kepada Kesultanan Mataram. Malah Surat Kalih yang sekarang ada, bukanlah surat kalih yang sebenarnya, karen dalam Surat Kalih yang sesungguhnya Cianjur tidak pernah menyerah kepada Mataram (Tentu pernyataan ini membutuhkan penelusuran sejarawan untuk membuktikan kebenerannya). Dalam versi ini, selain surat kalih Bupati Cianjur menyertakan pula bingkisan unik yang berupa symbol keadaan negeri Cianjur saat itu, Dalem Aria Kidul mengahadap kepada Sultan Mataram menyerahkan bingkisan kecil dari Aria Wiratanu II yang isinya tiga butir padi dan tiga butir merica. Tiga butir padi berisi pesan simbolik bahwa kabupaten Cianjur yang saat itu baru berdiri belum bisa mensejahteraan rakyatnya, sedangkan tiga butir merica artinya kendati Cianjur masih miskin karena baru berdiri, namun apabila dihina apalagi diserang “moal burung ngalawan” Cianjur siap belapati menjaga harga dirinya.
Dan ketika Sultan Mataram menerima bingkisan unik tersebut, ia memahami kondisi Cianjur yang baru berdiri dan masih belum mandiri perekonomiannya. Oleh karena itu Sunan Amangkurat II menjawab symbol tersebut dengan memberikan  beberapa hadiah yang berisi pesan kepada Bupati Cianjur, yakni seekor kuda balapan Eropa jantan berwarna hitam, pohon Saparantu dan sebilah keris bertahtatakan intan berlian. Malah keris yang diberikan melalui Dalem Aria Kidul itu adalah keris Sultan Mataram yang langsung diambil dari pinggangnya. Kuda balap jantan mengandung arti agar Cianjur segera gulung tangan “singkil” membangun daerahnya agar maju, pohon saparantu mengandung arti bahwa Cianjur harus menjadi kabupaten yang langgeng seperti pohon saparantu yang berusia panjang (pohon saparantu pemberian Sultan Mataram hingga kini masih tumbuh dengan baik di Kampung Saparantu, Cibalagung desa Bobojong Kec.Mande). Daerah di Jawa Barat yang diberi pohon Saparantu oleh Sultan Mataram hanya Cirebon, Banten dan Cianjur. Sedangkan symbol keris Sultan yang dianugrahkan kepada bupati Cianjur mengandung arti bahwa Kesultanan Mataram tidak menganggap Cianjur sebagai wilayah jajahan, akan tetapi saudara yang sejajar kedudukannya dan Mataram siap membantu Cianjur bila suatu saat mendapat serangan dari siapapun.
Dalem Aria Kidul gembira sekali kunjungannya ke kraton Mataram berhasil dengan baik. Ia bawa ke Cianjur kuda, keris dan pohon Saparantu sebagai anugrah bagi Bupati Cianjur kakaknya dari Sinuhun Sultan Mataram, oleh karena itu sepanjang perjalanan menuju Cianjur kuda tersebut dibiarkan kosong tidak ditunggangi siapapun. Dalem Aria Kidul beranggapan bahwa kuda tersebut diperuntukkan sebagai tunggangan Bupati Cianjur, jadi yang berhak menungganginya hanya Raden Wiramanggala / Dalem Aria Wiratanu II Bupati Cianjur. Iapun segera mengutus beberapa orang kepercayaannya untuk bergegas pulang ke Cianjur memberi khabar kepada Aria Wiratanu II bahwa rombongan Aria Kidul dalam perjalanan pulang ke Cianjur dengan hasil yang membanggakan.
Benar saja, setibanya dikampung Muka Cianjur, berbagai umbul-umbul sudah dipasang menyambut kedatangan Aria Kidul dan rombongannya. Rakyat sepanjang jalan tidak saja mengahaturkan sembah kepada Aria Kidul, namun ikut serta dengan rombongan Aria Kidul “ngabring” membawa Kuda Kosong menuju pendopo Cianjur yang masa itu letaknya dikampung Pamoyanan Tonggoh ( depan Stekmal sekarang) namun versi lain menyatakan bahwa pendopo Cianjur saat itu dilokasi gedung Bale Rancage sekarang.
Setibanya digapura pendopo Cianjur, ia sudah disambut saudara-saudaranya seperti Rd. Aria Martayuda / Dalem Sarampad, Rd. Suradiwangsa / Dalem Panembong, Nyi Mas Kaluntar, Nyi Mas Kara, Nyi Mas Bogem, Nyi Mas Karanggan, Nyi Mas Jenggot, namun yang tidak tampak menyambut hanya Dalem Aria Cikondang / Rd. Wiradimanggala. Dalem Aria Kidul dipapag ku ulama pendopo, dalam babad Cianjur dikisahkan penyambutan Aria Kidul di pendopo Cianjur “ dikukusan diparaneahan, dibura ku nini paraji supados kempel pangacian”.  (Bersambung)     



Tradisi Kuda Kosong Dari Masa Kemasa Bag IV “ GUGURNYA ARIA CIKONDANG”
Oleh Luki Muharam Divisi Sejarah Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC), Divisi Sejarah Paguyuban Pasundan Kab. Cianjur.
Dikirim Jumat (6/9)
(Foto Salah satu makam Aria Cikondang ditengah sawah dipinggir sungai Cikondang Cibeber Cianjur.)

Pendopo Kab. Cianjur pada masa Bupati Cianjur Rd. Aria Wiratanu II (1691-1707) masih berada dikampung Pamoyanan, setibanya di pendopo kuda jantan Eropa hadiah Sunan Amangkurat II langsung ditunggangi Bupati Cianjur. Dengan bangga Rd. Wiramanggala/ Aria Wiaratanu II diiringi adik-adiknya dan rakyat berkeliling kota sambil menunggangi kuda anugrah Sultan Mataram. Konon sepanjang masa pemerintahannya Rd Aria Wiratanu II selalu menunggangi kuda tersebut setiap acara-acara penting seperti menyambut tamu agung dari Kesultanan Mataram, atau pembesar Belanda saat Cianjur sudah menjadi jajahan Belanda. Selain jadi kuda tunggangan utamanya, kuda tersebut selalu diarak bersama keris pemberian Sultan Mataram saat peringatan muludan.
Sebelum melanjutkan tentang riwayat tradisi Kuda Kosong, alangkah baiknya kita menyimak kisah heroik Dalem Aria Cikondang / Rd. Wiradimanggala adik kandung Bupati Cianjur Aria Wiratanu II . Aria Cikondang satu-satunya adik Wiramanggala yang tidak setuju adanya hubungan baik antara Cianjur dengan Mataram. Karena sejarah sudah mencatat sejak wafatnya Sultan Agung Mataram yang anti Belanda, kesultanan Mataram justru bekerja sama dengan Belanda pada saat dipimpin Sunan Amangkurat I dan Sunan Amangkurat II. Bagi Aria Cikondang hubungan erat antara Cianjur dan Mataram sama halnya membuka hubungan baik dengan penjajah tanah air.
Belum ditemukan sejarah ataupun babad tentang keterkaitan antara Aria Cikondang dan pemberontak Haji Prawatasari yang hidup sejaman. Namun menurut sumber tradisional Aria Cikondang kemudian membangkang kepada Mataram dan Belanda. Banyak rakyat yang mengaguminya, karena selain berwatak keras, Aria Cikondang dikenal sebagai ahli maen po dan memiliki ajian Pancasona yang tidak mempan senjata tajam dan peluru. Dapat dibayangkan betapa sulitnya melumpuhkan Aria Cikondang saat menjadi buronan karena memiliki “urat kawat-tulang beusi”.  Pasukan Belanda dan Mataram sering dibuat kocar-kacir menghadapi Aria Cikondang, sebab walaupun sendirian bila sedang menghadang penjajah, ia ibarat harimau terluka yang tidak pernah membiarkan lawan-lawanya lolos begitu saja.
Beberapa tahun membangkang, membuat Belanda merasa dirugikan. Fihak penjajah kemudian membuat ultimatum kepada Aria Cikondang, apabila tidak menyerahkan diri kepada Belanda, maka Bupati Cianjur akan ditangkap karena dianggap sekongkol membiarkan adiknya berontak kepada Mataram dan Belanda.
Raden Wiradimanggala / Dalem Aria Cikondang akhirnya luluh hatinya, bagaimanapun ia tidak tega bila kakak kandungnya ditangkap karena perjuangannya. Aria Cikondang kemudian menyerahkan diri, tidak lama setelah menyerahkan diri, Rd. Wiradimanggala dijatuhi hukuman mati. Uniknya saat menjalani hukuman mati dengan tembakan peluru, tak satupun peluru dapat melukai kulitnya. Demikian juga saat kepalanya dipenggal algojo hingga “ngagulutuk” ditanah, kepala yang terlepas dari leher menyatu kembali. Dan saat menghadapi berbagai hukuman, putra Dalem Cikundul ini hanya tertawa terkekeh-kekeh melihat pasukan penjajah yang kebingungan mencari-cari cara untuk membunuhnya.
Namun seperti kata pepatah karuhun “ moal aya elmu panutup”, suatu ketika datanglah seorang pria yang mengaku mengetahui kelemahan Aria Cikondang. Menurut sang penghianat ini, Aria Cikondang harus dibunuh ditengah aliran sungai yang mengalir, agar darahnya tidak menyentuh tanah, sebab apabila darahnya menyentuh tanah jasad Aria Cikondang akan menyatu kembali dan hidup seperti sediakala. Belanda kemudian melaksanakan pentunjuk tersebut, pada suatu hari saat bakda zuhur tubuh Aria Cikondang ditarik beberapa ekor kuda secara berlawanan arah diatas aliran sungai Cikondang (yang saat itu masih berupa sungai kecil, belum terkena abrasi seperti sekarang ). Maka tubuh perkasa Aria Cikondangpun akhirnya terbagi dua, darah segar yang mengalir dari tubuhnya terbawa aliran sungai Cikondang. Jasad sang pahlawan kemudian dimasukan secara terpisah, masing-masing dimasukan kedalam peti besi. Menurut riwayat ini, bagian kepala hingga dada dikubur digunung Picung Cikondang Cibeber, sedangkan bagian perut hingga kaki dikubur dipinggir sungai Cikondang Cibeber. Ironinya pelaksaan hukuman mati tersebut disaksikan Dalem Aria Wiratanu II Bupati Cianjur dengan hati pilu. Maka hingga saat ini makam Aria Cikondang terdapat dua buah ,ditengah sawah tidak jauh dari sungai Cikondang Cibeber dan di puncak gunung Picung Cikondang Cibeber. Sedangkan penghianat yang tidak lain adalah rekan seperguruan Aria Cikondang, kemdudian diangkat menjadi Camat Cikembulan.                
Pada masa Bupati Cianjur Rd. Aria Wiratanu III / Dalem Astramanggala (1707-1727) tradisi kuda kosong terus dilaksanakan. Dalem Astramanggala tidak lagi menunggangi kuda pemberian Sunan Amangkurat II sebagai penghormatan kepada Bupati Cianjur RA. Wiratanu II ayahnya. Bupati Cianjur yang kaya raya ini membangun dengan megah pendopo Cianjur dilokasi sekarang dengan gaya arsitektur Belanda, yang semula berada dikampung Pamoyanan. Dalem Astramanggala menjaga dengan baik keturunan Kuda Kosong dan membangun istal khusus didaerah kembong kembang (belakang SDN. Ibu Jenab I sekarang). Selain digelar setiap Muludan, helaran Kuda Kosong digelar pula setiap menyambut tamu penting pembesar Belanda yang berkunjung ke pendopo Cianjur, Bersambung





Asal Muasal Tradisi Kuda Kosong bagian V (Tamat)
Pelurusan Sejarah Helaran Kuda Kosong

Oleh Luki Muharam, Divisi Sejarah Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC), Divisi Sejarah Paguyuban Pasundan Kab. Cianjur. Dikirim Senin (30/9)

Sejak kapan Tradisi Kuda Kosong dihubungkan dengan Rd. Suryakancana Raja jin yang konon bersemayam di gunung Gede Cianjur ? Dan apakah benar Raden Suryakancana memang hadir saat tradisi kuda kosong digelar ? . Adalah Sutardy Mahesa (56) Ketua Komite Film dan Multimedia Dewan Kesenian Cianjur (DKC) suatu ketika diakhir masa jabatan Bupati Cianjur Harkat Handiamihardja (1996-2001) ia diminta TVRI Bandung untuk menjadi juru kamera meliput tradisi Kuda Kosong sejak dimulai acara Ngalinggihkeun hingga Ngalungsurkeun Raden Suryakancana. “ Di TVRI saat itu ada acara Dian Rana, saya ditugaskan Pemda Cianjur membantu TVRI meliput tradisi Kuda Kosong sejak ritual Ngalinggihkeun Rd. Suryakancana hingga Ngalungsurkeun ke kamar kosong di Pendopo Cianjur ,“ ujar Ayah panggilan akrab Sutardy Mahesa saat dijumpai disekretariat DKC.
Di pendopo Cianjur saat itu masih terdapat Kamar Kosong yang memang biasa diperuntukkan bagi Rd. Suryakancana. Kamar tersebut selalu diisi sesaji, apalagi menjelang arak-arakan Kuda Kosong kamar yang dikeramatkan tersebut semakin disakralkan. Kuda jantan tinggi besar yang akan menjadi tunggangan Suryakancana harus dimandikan terlebih dahulu menjelang diarak, dan yang memandikan kuda tidak boleh sembarangan tapi harus Bupati Cianjur, air untuk memandikan kudapun tidak sembarang air, tapi air keramat dari Cikahuripan yang berasal di kompleks makam Dalem Cikundul / Aria Wiratanu I di Majalaya Cikalong.
Esoknya saat akan dimulai arak-arakan Kuda Kosong, di kamar kosong sang juru kunci telah menyiapkan berbagai sesaji kesukaan Suryakancana, dan setelah diadakan “hadiah” juru kunci “mengahadirkan” Suryakancana untuk dipersilakan menaiki kuda yang sudah disediakan, “ Sebagai juru kamera saya mulai meliput ketika juru kunci hadiah dikamar kosong, tiba-tiba ia sungkem sepertinya Suryakancana sudah hadir walau tidak terlihat, lalu kuncen berdiri seolah-olah mengiringi seseorang menuju kuda. Diluar kamar kosong sudah berbaris seraya menunduk hormat para pembesar Cianjur, Bupati Cianjur, Dandim, dan Kapolres. Dan yang sulit diterima akal saat Suryakancana dilinggihkan kepunggung kuda, sepertinya ada beban berat yang memang naik kepunggung kuda, …walaupun tidak terlihat, kuda nampak terbebani benda berat, “ papar Ayah menceritakan saat meliput ritual Ngalinggihkeun Suryakancana ke punggung kuda. Demikian juga saat diadakan ritual Ngalungsurkeun Suryakancana setelah iring-iringan pawai dari kuda ke Kamar Kosong yang disambut para pembesar Cianjur dipintu masuk Kamar Kosong. Apa yang dialami Sutardy Mahesa, walaupun sulit dibuktikan akan tetapi banyak yang mempercainya, sehingga Kuda Kosong menjadi daya tarik bagi warga Cianjur yang selalu menyempatkan hadir saat digelar tradisi Kuda Kosong setiap hari jadi Kab. Cianjur.
Lalu apakah helaran Kuda Kosong sejarah awalnya dikaitkan dengan raja jin Suryakancana ? ternyata ketika awal-awal digelar sejak jaman Bupati Cianjur ke III Dalem Aria Wiratanu III (1707-1727) hingga jaman Bupati Cianjur R.A.A Surianata Atmadja (1934-1943) arak-arak Kuda Kosong tidak ada sangkut pautnya dengan praktiik klenik dan pemanggilan jin. Masuknya tradisi Ngalinggihkeun dan Ngalungsurkeun Suryakancana terjadi ketika Cianjur diperintah Bupati Rd. Ateng Sanusi Natawiyoga (1948-1950). “ Dalem Ateng itu Bupati Cianjur yang bukan keturunan Dalem Cikundul, beliau adalah menak Bandung. Sebagai orang berpendidikan beliau ingin diakui oleh sesepuh dan warga Cianjur makanya beliau kerap datang menemui ulama-ulama Cianjur meminta saran, maka oleh ulama Cianjur beliau disarankan untuk menghidupkan kembali pengajian yasinan setiap malam jumat di pendopo, dan saran tersebut dilaksakanan. “ papar Pepet Djohar (67) mantan Ketua Lembaga Kebudayaan Cianjur.
Sayangya Dalem Ateng tidak hanya meminta saran ulama, ia juga menerima saran seorang wanita paranormal dari Cidaun Cianjur yang menyarankan agar diadakan ritual menghadirkan Suryakancana yang dipercaya sebagai putra Dalem Cikundul dari putri jin yang bersemayam di gunung Gede Cianjur. Ritual tersebut meniru tradisi Kuda Kosong di Ciamis yang menghadirkan Onom dedemit yang konon menghuni Rawa Lakbok di Ciamis. Maka sejak saat itu hingga jaman Bupati Cianjur Harkat Handiamihardja Tradisi Kuda Kosong dibumbui tradisi Ngalinggihkeun dan Ngalungsurkan Suryakancana.

Namun atas saran Majelis Ulama, Ir. H. Wasidi Swastomo, MSi (Bupati Cianjur periode 2001-2006) menghapus tradisi Kuda Kosong karena dikhawatirkan akan membawa warga Cianjur kepada kemusyrikan. Pelarangan tersebut tidak serta merta diterima para budayawan, maka setelah beberapa kali diadakan musyawarah antara Majelis Ulama, Paguyuban Pasundan Kab. Cianjur, dan Dewan Kesenian Cianjur (DKC) maka tradisi Kuda Kosong penyelenggaraannya dikembalikan seperti semula yang tidak dikaitkan dengan ritual pemanggilan jin. “ Jadi tradisi Kuda Kosong yang digelar sekarang sudah kembali seperti jaman Dalem Astramanggala (Aria Wiratanu III) dan memang seperti itu seharusnya, “ pungkas Pepet Djohar yang kini menjadi Dewan Penasihat Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC). Sayangnya keris pemberian Sultan Mataram hingga kini keberadaannya tidak diketahui, cenderamata Sultan Mataram yang masih bisa dilihat adalah pohon Saparantu yang masih tumbuh dengan baik dikampung Saparantu Kademangan Cibalagung, Mande.  (Tamat)

9 comments:

  1. insya'allah mangpaat pisan iyeu carita teh kanggo urang cianjur diantawisna abdi urang cianjur selatan....upami tiasamah ditambihan deui bedahan caritana..

    ReplyDelete
    Replies
    1. boleh tanya donk ...!!! itu dalam 1 hari dapat 3 Milyar, proses nya bagai mana ya ? uang nya dari mana ? apakah uang tersebut tiba tiba muncul begitu saja di dalam kantong celana ? apa ngambil dari ATM ?

      Delete
    2. Assalamualaikum senang sekali saya bisa menulis dan berbagi kepada teman-teman disini. barangkali ada teman-teman yang sedang kesulitan masalah keuangan. Sebulan yang lalu perusaan percetakan saya dirundung hutang yang cukup besar. Hal itu di akibatkan melonjaknya harga kertas dan tenaga upah yang harus saya bayar kepada para karyawan saya. Sementara itu beberapa tender yang nilainya cukup besar gagal saya menangkan. Akibatnya saya harus menjaminkan mobil saya saya untuk meminjam hutang dari bank. Namun hal itu belum cukup menutup devisit perusaan. Bahkan pada akhirnya rumah beserta isinya sempat saya jaminkan pula untuk menutup semua beban hutang yang sedang dilanda perusaan. Masalah yang begitu berat bukan mendapat support dari istri justru malah membuat saya bersedih bahkan sikapnya sesekali menunjukan rasa kecewa. Hal itu di sebabkan semua perhiasan yang sempat saya hadiahkan padanya turut saya gadikan. Disaat itulah saya sempat membaca beberapa situs yang bercerita tentang solusi pesugihan putih tanpa tumbal dan akhirnya saya bertemu dengan Kyai Sukmo Joyo. Kata pak Kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan penarikan uang gaib 5milyar dengan tumbal hewan. Tanpa pikir panjang semua petunjuk pak.kyai saya ikuti dan hanya 1 hari. Alhamdulilah akhirnya 5M yang saya minta benar benar ada di tangan saya. Perlahan hutang-hutang saya mulai saya lunasi. Perhiasan istri saya yang sempat saya gadaikan kini saya ganti dengan yang lebih bagus dan lebih mahal harganya. Dan yang paling penting bisnis keluarga yang saya warisi tidak jadi koleps. Jika ingin seperti saya. Saya menyarankan untuk menghubungi kyai sukmo joyo di 0823.9998.5954 situsnya www.sukmo-joyo.blogspot.co.id agar di berikan arahan

      Delete
  2. hatur nuhun kang sejarah na sae pisan salaku urang cianjur sareng kaleresan masih kenenh rundayan ti dalem cikundul simkuring ngaraos bingah reh na aya sajarah anu kalintang sae na kanggo panambih elmu sinareng pangatahuan sajarah urang sadayana..

    ReplyDelete
  3. hatur nuhun kang sejarah na sae pisan salaku urang cianjur sareng kaleresan masih kenenh rundayan ti dalem cikundul simkuring ngaraos bingah reh na aya sajarah anu kalintang sae na kanggo panambih elmu sinareng pangatahuan sajarah urang sadayana..

    ReplyDelete
  4. Rasanya perlu pemda cianjur mehadirkan pelajaran sejarah khusus Cianjur, agar para pelajar di cianjur tahu sejarah Cianjur yang sebenarnya dr awal kabupaten Cianjur berdiri.

    ReplyDelete
  5. Abdi orang cianjur sok rda bingung ari di taros sejarah kota cianjur ku batur dha teu apal alhamdulillah ayna mah tiasa nga jawab abdi penghuni gunung picung asa bingah aya sejarah na y

    ReplyDelete
  6. Alhamdullilah Manfaat pisan 🙏

    ReplyDelete
  7. Assalammualaikum saya sebagai orang yang pernah ngantar orang yang ngambil pesugihan sebenarnya pesugihan itu ada dan saya liat dengan kepala saya sendiri.
    Cuman jujur saya orangnya penakut hehehe,yang saya tahu pesugihan itu gak bisa namanya di wakilkan sama kuncen harus kita yang ritualnya dan siap apa yg di pintanya bila mana ada yang mau pesugihan,insyaallah saya antar asal udah siap semuanya bilamana ada yang mau sering tentang pesugihan ini no tlp saya 083160178510

    ReplyDelete